Potensi Wisata Sejarah

Goa Pengilen

 

Goa Pengilen merupakan goa yang terletak di Wanarata, Desa Banjarpanepen. Pengilen dalam Bahasa Jawa berarti bersembunyi. Dahulu, goa ini digunakan oleh para pejuang untuk bersembunyi dari tentara Belanda. Mulut goa ini berukuran cukup besar. Dahulu, goa ini dapat menampung sekitar 25 orang, berukuran besar dan cukup dalam. Sayang karena kurangnya perawatan dan perhatian dari warga sekitar saat ini mulut goa tertutup oleh longsoran tanah dan batu sehingga hanya terlihat mulut goanya saja. Akses menuju goa ini cenderung sulit karena harus melewati makam dan hutan warga sejauh 1 kilometer dengan menuruni tebing yang sedikit curam.

 

Sejarahnya, Goa Pengilen merupakan tempat persembunyian Divisi Siliwangi yang berperang melawan Belanda (KNIL) pada tahun 1947. Pada tahun tersebut, wilayah Banjarpanepen tergolong dalam wilayah Belanda akibat Perjanjian ____. Banyak pejuang yang ditugaskan di sekitar wilayah Banjarpanepen untuk melangsungkan perang gerilya untuk merebut kembali wilayah Indonesia. Apalagi pada tahun 1947-1948 sedang terjadi pertempuran Gombong-Karanganyar yang melibatkan KNIL dan TKR. Bahkan pada masa pertempuran Gombong-Karanganyar tersebut, Belanda menembakkan meriam dari Sumpiuh ke Banjarpanepen ratusan kali. Hal ini dilakukan karena Belanda mengetehui bahwa para pejuang tengah bersembunyi di hutan-hutan dan goa-goa di Banjarpanepen melalui warga pribumi yang menjadi mata-mata Belanda. Salah satunya di Goa Pengilen. Para pejuang yang bersembunyi di Goa Pengilen tersebut dipimpin oleh Letnan Yasir Hadibroto— yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Lampung pertama. Untuk menunjang keberhasilan perang gerilya pun beberapa warga di sekitar goa memberikan bantuan logistik berupa makanan dan pakaian kepada para pejuang tersebut.

 

Goa ini cukup berpotensi untuk dijadikan lokasi wis ata bila direvitalisasi sesuai dengan kondisi sebelumnya. Goa ini memiliki nilai sejarah yang dapat diperkenalkan kepada masyarakat luas. Namun untuk menuju ke lokasi goa, akses jalan perlu diperbaiki. Hal ini karena belum ada pengaman yang memudahkan wisatawan untuk menuju ke lokasi Goa Pengilen.

 

Makam Mbah Dawa, Makam Wangsajaya, dan Mbah Jati Puser

 

Makam Mbah Dawa, Makam Wangsajaya, dan Mbah Jati Puser

 

Di Grumbul Wanarata, Desa Banjarpanepen terdapat makam-makam pejuang. Salah satunya adalah makam Mbah Dawa. Mbah Dawa merupakan salah satu kesatria yang gugur saat menunaikan tugasnya di daerah Banjarpanepen dan dimakamkan di wilayah Wanarata beserta dengan tombaknya. Diperkirakan Mbah Dawa ini hidup pada masa Brawijaya. Makam Mbah Dawa ini kini sudah dikelola dengan dibangun nisan permanen sepanjang 3 meter.

 

Tidak jauh dari makam Mbah Dawa, terdapat makam Wangsajaya, seorang kesatria dari daerah Jawa bagian timur. Diperkirakan, Wangsajaya ini hidup pada masa Kerajaan Mataram Hindu. Wangsajaya ini gugur di wilayah Wanarata bersama dengan ketiga abdinya yang juga dimakamkan di samping Wangsajaya. Kini, makam tersebut telah dibangun nisan permanen, namun masih belum memiliki penanda.

 

Selain itu terdapat pula bekas tebangan pohon jati yang diberi nama Mbah Jati Puser. Menurut penuturan warga sekitar, Mbah Jati Puser ini dulunya merupakan pohon jati yang apabila ditebang masih akan tumbuh lagi. Padahal biasanya pohon jati tidak bisa tumbuh setelah ditebang. Pada saat pembangunan Pendopo Bupati Banyumas, kayu jati dari Mbah Jati Puser digunakan sebagai salah satu tiang penyangganya. Saat diangkut ke Banyumas, kayu dari Mbah Jati Puser tidak mau melewati Sungai Serayu yang ditunjukkan dengan tenggelamnya kayu ketika dilewatkan di Sungai Serayu. Begitu pula dengan kejadian aneh terkait dengan kayu jati tersebut saat melewati Sungai Serayu. Akhirnya, pengangkut kayu jati tersebut memutar arah tidak melewati Sungai Serayu untuk mengantarkannya ke ibukota Banyumas.

 

Petilasan Mbah Batur

 

Petilasan Mbah Batur terletak di Grumbul Panepen, kurang lebih 1,5 km dari pusat desa. Penduduk setempat menduga bahwa Petilassan Mbah Batur dulunya merupakan tempat pertapaan seorang pejuang dan penyebar agama Islam di Banjarpanepen. Namun pertapaan tersebut hanya digunakan sementara karaena sang pejuang dan penyebar agama harus pergi lagi mengembara. Menurut masyarakat setempat, Mbah Batur adalah seorang syekh yang berdakwah mengembangkan ajaran Islam di Banjarpanepen. Kabarnya, beliau berasal dari luar daerah dan bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berasal dari Timur Tengah.

 

Di Petilasan Mbah Batur tersebut juga telah dibangun sebuah penanda seperti batu nisan yang hingga saat ini kondisinya masih kurang terawat. Beberapa warga terkadang memanfaatkannya untuk melakukan pertapaan dan berdoa di tempat tersebut. Sementara itu, akses menuju ke Petilasan Mbah Batur ini tergolong sulit karena kondisi jalanan yang licin, melewati rumah penduduk, dan kebun warga.

 

Panembahan Kali Tengah

 

Panembahan Kali Tengah merupakan sebuah tempat yang dulunya digunakan pejuang kemerdekaan bernama Mbah Kali Tengah (sebutan yang diberikan warga) dan pengikut-pengikutnya untuk bertapa. Mbah Kali Tengah dan pengikut-pengikutnya bertapa untuk mendapatkan ilham atau petunjuk dari Tuhan agar dapat menyusun strategi melawan penjajah. Selain itu juga untuk mengintrospeksi diri agar mampu berbuat lebih baik lagi. Akan tetapi, belum ada yang tahu pasti dari mana asal usul Mbah Kali Tengah ini. Warga sekitar menduga bahwa Mbah Kali Tengah ini merupakan tokoh yang berjuang melawan Belanda dengan cara melakukan perang gerilya.

 

Di samping cerita mengenai Mbah Kali Tengah, di petilasan ini terdapat cerita mistik menarik. Cerita mistik tersebut mengenai pohon-pohon bambu yang terdapat di Petilasan Kali Tengah. Apabila pohon bambu tersebut ditebang dan dibuka, di dalamnya terdapat udang. Namun untuk mendapatkan udang tersebut, diperlukan niatan tulus bukan untuk menantangYang Maha Kuasa. Beberapa warga pernah membuktikan cerita mistik tersebut dan ada yang berhasil mendapatkan udang dari pohon bambu tersebut. Cerita mistik lainnya yaitu mengenai perawatan penanda Panembahan Kali Tengah. Warga sekitar pernah mencoba untuk memasang cungkup (rumah-rumahan) untuk memperindah panembahan tersebut. Akan tetapi, selang beberapa jam kemudian, cungkup tersebut rusak tertiup angin. Warga sekitar percaya bahwa rusaknya cungkup di Panembahan Kali Tengah tersebut karena penunggunya tidak rela.

 

Panembahan Kali Tengah ini terletak di Grumbul Panepen. Akses menuju ke Panembahan Kali Tengah sangatlah berat karena harus melewati jalan setapak di hutan yang dapat ditempuh selama 50 menit dengan jalan kaki dari tempat parkir motor. Jalan menuju ke Kali Tengah tersebut tidak dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan seperti motor cross karena kondisi jalan setapak yang sangat sempit, kurang lebih 50 cm. Selain itu, kondisi jalannya pun sedikit licin dan berbatasan dengan terbing dan jurang di kanan kirinya. Jalan menuju ke Kali Tengah akan sangat berbahaya apabila dilalui saat musim hujan karena jalanannya rawan longsor dan jika tidak hati-hati akan terperosok ke jurang. Meskipun demikian, pemandangan saat menuju ke Kali Tengah sangatlah indah.

 

Panembahan Bojong

 

Panembahan Bojong terletak jauh di dalam hutan pinus antara Grumbul Wanarata dan Grumbul Panepen. Dari masing-masing grumbul, panembahan ini dapat ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam dengan berjalan kaki. Akses jalan menuju ke Panembahan Bojong relatif sulit untuk dilalui bahkan cenderung ekstrim. Warga sekitar pun menyarankan untuk membawa peralatan-peralatan pendakian seperti senter dan tali apabila ingin pergi ke sana di siang hingga sore hari.

 

Menurut cerita masyarakat setempat, Panembahan Bojong merupakan tempat bertapa leluhur warga Desa Banjarpanepen yang sering disebut sebagai Mbah Bojong. Beberapa warga ada pula yang menyebutnya sebagai Mbah Nyoman dari Bali. Konon, Mbah Nyoman atau Mbah Bojong ini juga dimakamkan di tempat tersebut. Makamnya pun sering dikunjungi oleh masyarakat sekitar maupun masyarakat dari luar desa untuk mencari wangsit dan keberuntungan.

 

Panembahan Mertelu (Mbah Kyai Wayah)

 

Panembahan Mertelu yang terletak di Desa Banjarpanepen ini merupakan sebuah panembahan yang dulunya digunakan untuk bertapa seorang penyebar agama Islam (mubaligh) di Desa Banjarpanepen yang biasa disebut dengan Mbah Kyai Wayah. Beliau dinamakan demikian karena beliau tidak memiliki anak dan tidak memiliki istri, namun memiliki cucu (wayah). Penyebar agama tersebut masih berkaitan erat dengan Sunan Kalijaga, karena kabarnya Mbah Kyai Wayah memiliki komunikasi yang baik dengan Sunan Kalijaga. Berita lain menyebutkan bahwa Mbah Kyai Wayah ini berasal dari wilayah Timur Tengah. Saat ini Mbah Kyai Wayah dimakamkan di Selanegara, tepatnya di Makam Wirasaba.